top of page
Dadang Mochamad Achjar, lebih dikenal dengan sebutan nama Dadang MA, adalah salah seorang contoh penting bagi penjelasan mengenai pertumbuhan generasi seniman ‘Bandung 80’an’ yang belum banyak dijelaskan dalam peta perkembangan seni rupa Indonesia. Berbeda dengan perkembangan seni rupa di tahun 1990’an yang diwarnai panggung perkembangan seni rupa kontemporer yang berciri eksploratif serta dirayakan berbagai perhelatan seni rupa internasional, maka tahun 1980’an adalah masa kritis dalam tahap perkembangan seni rupa Indonesia yang cenderung menjadi mapan. Pada tahun 1980’an pula mulai dikenal istilah ‘boom seni lukis’ Indonesia yang fenomenal.
"Tantangan bagi para pelukis muda di tahun 1980’an adalah upaya keras dalam penggalian dan ‘persaingan’ inspiratif yang datang dari para seniman besar yang telah mapan. Seorang seniman muda yang bekerja keras untuk menjawab tantangan semacam itu tak hanya membutuhkan tingkat penguasaan teknis kerja yang mencukupi, tetapi juga ketetapan dalam pencarian kedalaman suatu ekspresi secara konsisten. Dadang MA mulai menapaki karir artistiknya pada masa itu bersama-sama dengan puluhan seniman Bandung lain sezamannya. 1977 merupakan tahun yang penting baginya ketika Dadang MA menjadi bagian dari ‘Pameran Seniman Muda Bandung’."
Para seniman generasi tahun 1980’an percaya pada kekuatan medium seni yang bersifat khas, yang dirumuskan dalam kategori idiom ekspresi secara tertentu, yang dijelaskan dalam batasan-batas sebagai: seni lukis, seni patung, seni grafis, dll. Para seniman, dengan demikian, terbiasa menjelajahi idiom dan ekspresi bahasa secara spesifik dan khas. Bagi Dadang MA seni lukis merupakan pilihan yang dia bela secara sungguh-sungguh, meneguhkan pesan sang guru yang ia hormati dan kenal secara baik, yaitu sang maestro Popo Iskandar. Ketegasan Dadang MA menggeluti seni lukis sedari awal membentuknya menjadi sosok seniman (pelukis) yang memiliki karakter ekspresi yang khas dan mudah dikenang. Kritikus dan sejarawan seni rupa Sanento Yuliman mencatat karakter artistik yang kuat dalam perkembangan seni rupa tahun 1980’an, khususnya di Bandung, yang disebutnya sebagai kecenderungan lirisisme (lyricism). Kecenderungan semacam ini terutama berkembang melalui ekspresi karya-karya abstrak yang bersifat ekspresif. Lukisan-lukisan Dadang MA yang berkarakter liris (lyrical) bisa dipahami ibarat sebuah muara pertemuan dari berbagai kecenderungan estetik yang dikerjakan para tokoh perintis seni rupa abstrak Indonesia yang menentukan, seperti: Popo Iskandar, Srihadi Soedarsono, serta Ahmad Sadali.
Pameran ini, closeness │ distance, mengetengahkan dua kecenderungan tematik yang sering dikerjakan Dadang MA, yaitu: tema pemandangan (landscape dan seascape) serta tema bunga ―mengesampingkan tema ketiga yang juga penting serta khas, yaitu: penari. Pemakaian judul closeness │ distance ini setidaknya sudah menyiratkan penjelasan tentang pemilihan dua tematik karya yang ditunjukan oleh Dadang MA pada kesempatan pameran kali ini. Meski seakan bercabang dua, bagaimanapun, kumpulan lukisan-lukisan yang dipamerkan itu jelas menghadirkan kepaduan karakter artistik yang khas a’la Dadang MA. Tema pemandangan (landscape/ seascape) menjelaskan cara Dadang MA menanggapi ihwal soal yang ada yang jauh ‘di sana’ yang berjarak dalam sudut pandang tatapan mata kita secara biasa; sedangkan tema mengenai gambaran bunga menggali ihwal soal pergulatan yang berpijak dari pengalaman ‘yang dekat’, yang ‘di sini’. Kematangan Dadang MA dalam menggeluti proses kerja melukis selama ini, pada akhirnya, tetap menjadikan kedua titik pandang persoalan itu sebagai sebuah kepaduan pengalaman nilai yang bermakna utuh.
Untuk informasi lebih lanjut, mohon hubungi:
Adytria Negara
Program Manager
+62 851-9500-4505
bottom of page